Menu

Mode Gelap
Tuntut Ganti Rugi, Warga Pedamaran dan SPM Sumsel Desak PT PSM Hentikan Aktivitas Kuasa Hukum Perkara 368 di PN Prabumulih Sebut Ada Unsur Kriminalisasi Terhadap Warrawan Daur Ulang Jadi Karya Hebat: Aksi Kreatif Pelajar SMPN 4 Kayuagung DPRD OKI Murka, Tiga Camat Terancam Dievaluasi! LKPJ 2024 Bongkar Ketimpangan Koordinasi Pemerintah Daerah Diduga Tipu Konsumen Rp238 Juta, Developer Botanica Residence Diperiksa Polisi Kapolres OKI Tuai Pujian, Silaturahmi Bersama Wartawan Berlangsung Penuh Keakraban

Opini

Jabatan Kades Cukup Enam Tahun, Jangan Jadi Alat Kekuasaan Pilkada

badge-check


					Jabatan Kades Cukup Enam Tahun, Jangan Jadi Alat Kekuasaan Pilkada Perbesar

Palembang — Wacana memperpanjang masa jabatan kepala desa (kades) dari enam menjadi delapan tahun menuai polemik di masyarakat. Alih-alih memperkuat pemerintahan desa, kebijakan ini justru membuka ruang lebar bagi praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, serta melemahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.

Pada dasarnya, masa jabatan enam tahun sudah ideal untuk seorang kepala desa. Dalam rentang waktu tersebut, kades memiliki cukup waktu untuk menyusun rencana pembangunan, melaksanakan program, serta dievaluasi oleh masyarakat dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Namun jika masa jabatan diperpanjang, potensi penyimpangan justru semakin besar. Kekuasaan yang terlalu lama tanpa kontrol yang ketat akan melahirkan penyalahgunaan wewenang.

Realitanya, banyak kepala desa yang menjalankan roda pemerintahan secara tertutup. BPD, yang semestinya menjadi mitra kritis dalam menyusun dan menyepakati program pembangunan, kerap hanya dijadikan pelengkap yang membubuhkan tanda tangan. Perencanaan pembangunan desa sering kali tidak melalui musyawarah yang inklusif, melainkan sebatas formalitas antara kades dan BPD, tanpa melibatkan masyarakat secara nyata.

Lebih miris lagi, jabatan kepala desa tak jarang dijadikan sebagai alat kekuasaan oleh bupati dalam rangka persiapan Pilkada berikutnya. Dengan memperpanjang masa jabatan dan membangun relasi politik, kepala desa diarahkan untuk menjadi mesin suara demi kepentingan politik lokal. Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena mencederai prinsip demokrasi dan netralitas birokrasi desa.

Tak berhenti sampai di situ. Ada dugaan kuat bahwa posisi kepala desa menjadi ladang empuk bagi praktik pungutan liar oleh oknum dinas maupun aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus, kepala desa merasa tertekan untuk “menyetor” dana tertentu agar urusan administrasi atau proyek berjalan mulus. Praktik ini jelas merusak semangat pemberdayaan masyarakat desa dan memperparah budaya korupsi di tingkat akar rumput.

Menghadapi situasi ini, peran serta masyarakat sipil menjadi sangat penting. Pers dan LSM harus aktif melakukan kontrol sosial, mengungkap penyimpangan, serta mendesak transparansi dalam pengelolaan keuangan dan pembangunan desa. Camat sebagai perpanjangan tangan pemerintah kabupaten juga harus berani bersikap tegas, bukan malah turut terlibat dalam praktik setoran dan pembiaran.

Sudah saatnya kita kembali kepada semangat otonomi desa yang sehat dan demokratis. Jabatan lima tahun bagi kepala desa cukup dan ideal. Lebih dari itu, hanya akan melanggengkan kekuasaan, melemahkan kontrol sosial, dan menciptakan desa sebagai ruang baru praktik korupsi berjamaah.

Oleh: Edison Aslan.

Penulis adalah aktivis 98.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

SAATNYA RATU DEWA MENGATASi BANJIR DAN PEMBENAHAN TATA RUANG KOTA PALEMBANG

10 Maret 2025 - 04:51 WIB

Silaturahmi Ramadhan Pemkab OKI: Momentum Persatuan atau Manuver Politik?

10 Maret 2025 - 04:27 WIB

Gerakan Revolusioner : Danantara dan Bank Emas Ajang Merampok Rakyat dan Pencucian Uang Para Koruptor

6 Maret 2025 - 19:13 WIB

Kepala Daerah Dilantik, Tantangan Baru Menanti

20 Februari 2025 - 21:41 WIB

“GERAKAN REVOLUSIONER”,  Turunkan Prabowo Gibran, Adili Jokowi dan Bentuk Pemerintahan Sementara (Part 1)

8 Februari 2025 - 13:20 WIB